Literasi Digital Kritis: Mendidik Siswa SMP Agar Cerdas Bermedia Sosial

Di tengah arus informasi yang tak terbendung, kemampuan Literasi Digital Kritis telah menjadi keterampilan hidup yang paling fundamental, terutama bagi siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang merupakan generasi digital native. Siswa di usia ini sangat rentan terhadap informasi keliru (hoax), cyberbullying, dan eksploitasi data pribadi yang marak terjadi di media sosial. Oleh karena itu, mendidik mereka agar cerdas dan bertanggung jawab dalam menggunakan platform digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mutlak. Kegagalan dalam membekali mereka dengan Literasi Digital Kritis akan menghasilkan individu yang mudah dimanipulasi dan kurang memiliki filter etika dalam berinteraksi di ranah maya.

Salah satu fokus utama dalam mengimplementasikan Literasi Digital Kritis adalah mengajarkan siswa untuk memverifikasi sumber informasi. Siswa SMP harus dilatih untuk tidak serta-merta mempercayai konten yang viral atau emosional. Sebagai contoh spesifik, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui siaran pers pada Jumat, 19 Juli 2025, melaporkan bahwa lebih dari 40% remaja di Indonesia pernah menyebarkan berita yang kemudian terbukti palsu. Untuk mengatasi ini, SMP Bintang Kejora di Bekasi telah memasukkan modul “Verifikasi 3 Langkah” ke dalam mata pelajaran TIK, yang diajarkan setiap Rabu di sesi kedua. Modul ini mengajarkan siswa cara menggunakan mesin pencari terbalik untuk gambar dan membandingkan headline dari minimal tiga sumber berita terpercaya sebelum mengambil kesimpulan.

Pendekatan kedua adalah edukasi mengenai jejak digital dan privasi. Siswa perlu memahami bahwa apapun yang diunggah secara online akan meninggalkan jejak permanen yang dapat memengaruhi masa depan mereka, mulai dari penerimaan universitas hingga peluang kerja. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Konselor Sekolah Indonesia (AKSI) pada Sabtu, 12 Oktober 2024, Konselor Senior, Bapak Haryanto, M.Pd., menekankan pentingnya konsep “Berpikir Sebelum Mengklik.” Beliau merekomendasikan orang tua untuk melakukan audit privasi media sosial anak setidaknya sekali dalam tiga bulan untuk memastikan pengaturan keamanan optimal. Selain itu, guru juga harus membahas bahaya doxing (pengungkapan informasi pribadi) dan cara melindungi data diri dari upaya phishing.

Aspek terakhir namun tak kalah penting dari Literasi Digital Kritis adalah etika dalam berinteraksi. Sekolah harus secara tegas mengedukasi tentang UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) dan konsekuensi hukum dari cyberbullying atau ujaran kebencian. Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat melalui unit Siber mereka, yang dikoordinasikan oleh Kompol Nina Amelia, mengadakan sesi webinar preventif untuk 50 SMP di wilayahnya pada November 2024. Sesi ini memberikan data statistik yang nyata tentang kasus hukum yang menjerat remaja. Dengan mengintegrasikan aspek teknis (verifikasi), etis (privasi), dan hukum (konsekuensi), pendidik dapat Mendidik Siswa SMP agar tidak hanya mahir menggunakan gawai, tetapi juga cerdas dan bertanggung jawab dalam setiap ketukan jari mereka di dunia maya.